Rabu, 15 Mei 2019
Ridho Ilahi
Pada suatu hari, Nabi Musa as bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, “Wahai Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik. Saya melakukan salat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan kepada-Nya!”
“Baik,” kata Musa seraya melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. “Mau ke mana? Tolong tanyakan pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah salat, puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan.
Ketika kembali dari Sinai, ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang saleh, “Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu berkata, “Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa berkata, “Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.” Mendengar itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.
“Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga. Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan.
Jawaban Tuhan begini: “Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menye-babkan aku senang kepadanya.”
Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah merasa puas diri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan, kita berusaha keras untuk menguasainya —lahir dan batin, lalu kita mohon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berke-wajiban untuk melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah kepada-Nya, sambil berargumentasi, “Apalagi yang harus aku lakukan? Apa tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?"
“Janganlah kamu memberi dan meng-anggap pemberianmu sudah banyak,” firman Tuhan (QS. Al-Mudatsir: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu kerjakan. Setiap kali kamu bertanya seperti itu, ingatlah, belum banyak yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih berkutat dengan dirinya. Ia tidak berjalan menuju Tuhan. Ia berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia mengejar ridha dirinya.
Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran. Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada. Anda dapat menemukan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut mesjid dan juga pada para demonstran di simpang jalan. Yang pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyiakan pengorbanan kawan-kawannya.
Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, bacalah doa ini setelah salat Anda: “Tuhanku, ampunan-Mu lebih diharapkan dari amalku. Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu, ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasih-Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, karena kasih sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi.”
Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa Nabi Muhammad saw ketika ia berlindung di kebun Utbah dengan kaki berlumuran darah:
“Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku, ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang Mahakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau berikan kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih luas. aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan. Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku. Kecamlah aku sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali melalui-Mu.” _Aamiin_
Senin, 13 Mei 2019
Zakat fitrah
📌 NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK DIRI SENDIRI
ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺍَﻥْ ﺍُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻰْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN NAFSII
FARDLOL LILLAAHI TA'AALAA
📍 Artinya :
Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah pada diri saya sendiri,
fardhu karena Allah Ta'ala
📌 NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK ISTRI
ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﺯَﻭْﺟَﺘِﻲْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN ZAUJATII
FARDHOL LILLAATI TA'AALAA
📍 Artinya :
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya fardhu
karena Allah Ta'ala
📌 NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK ANAK LAKI LAKI
ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻭَﻟَﺪِﻱْ ... ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN WALADII
(Sebutkan Nama Anaknya) FARDHOL LILLAAHI TA'AALAA
📍 Artinya :
Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya
(sebut namanya) Fardhu karena Allah Ta’ala
📌 NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK ANAK PEREMPUAN
ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﺑِﻨْﺘِﻲْ ... ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN BINTII
(Sebutkan Nama Anaknya) FARDHOL LILLAAHI TA'AALAA
📍 Artinya :
Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas anak perempuan saya
(sebut namanya), fardhu karena Allah Ta’ala
📌 NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK DIRI SENDIRI DAN KELUARGA
ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻨِّﻰْ ﻭَﻋَﻦْ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﻣَﺎ ﻳَﻠْﺰَﻣُﻨِﻰْ ﻧَﻔَﻘَﺎﺗُﻬُﻢْ ﺷَﺮْﻋًﺎ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'ANNII WA'AN JAMII'I MAA
YALZAMUNII NAFAQOOTUHUM SYAR'AN FARDHOL LILLAAHI TA'AALAA
📍 Artinya :
Saya niat mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas sekalian
yang saya diwajibkan memberi nafkah pada mereka secara syari’at,
fardhu karena Allah Ta’aala.
📌 NIAT ZAKAT FITRA UNTUK ORANG YANG DIWAKILKAN
ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ..…) ) ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN
(Sebutkan nama orangnya) FARDHOL LILLAAHI TA'AALAA
📍 Artinya :
Niat saya mengeluarkan zakat fitrah atas…. (sebut nama orangnya),
Fardhu karena Allah Ta’ala
📌 BACAAN DOA KETIKA MENERIMA ZAKAT
ﺁﺟَﺮَﻙ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺍَﻋْﻄَﻴْﺖَ، ﻭَﺑَﺎﺭَﻙَ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺍَﺑْﻘَﻴْﺖَ ﻭَﺟَﻌَﻠَﻪُ ﻟَﻚَ ﻃَﻬُﻮْﺭًﺍ
~AAJAROKALLAAHU FIIMAA A'THOITA WABAAROKA FIIMAA ABQOITA
WAJA'ALAHU LAKA THOHUURON
📍 Artinya :
Semoga Allah memberikan pahala kepadamu pada barang yang engkau
berikan (zakatkan) dan semoga Allah memberkahimu dalam harta-harta
yang masih engkau sisakan dan
semoga pula menjadikannya sebagai pembersih (dosa) bagimu
🕘 " WAKTU MENGELUARKAN ZAKAT "
Waktu pelaksanaan mengeluarkan zakat fitrah terbagi
menjadi 5 kelompok :
🕘 1. Waktu wajib.
Yaitu, ketika menemui bulan Ramadhan dan menemui sebagian
awalnya bulan Syawwal.
Oleh sebab itu orang yang meninggal setelah maghribnya
malam 1 Syawwal, wajib dizakati.
Sedangkan bayi yang lahir setelah maghribnya
malam 1 Syawwal tidak wajib dizakati.
🕘 2. Waktu jawaz.
Yaitu, sejak awalnya bulan Ramadhan sampai memasuki waktu wajib.
🕘 3. Waktu Fadhilah.
Yaitu, setelah terbit fajar dan sebelum sholat hari raya.
🕘 4. Waktu makruh.
Yaitu, setelah sholat hari raya sampai menjelang tenggelamnya
matahari pada tanggal 1 Syawwal kecuali jika ada udzur
seperti menanti kerabat atau orang yang lebih membutuhkan,
maka hukumnya tidak makruh.
🕘 5. Waktu haram.
Yaitu, setelah tenggelamnya matahari tanggal 1 Syawwal
kecuali jika ada udzur seperti hartanya tidak ada ditempat tersebut
atau menunggu orang yang berhak menerima zakat,
maka hukumnya tidak haram.
👉 Sedangkan dari zakat yang dikeluarkan setelah
tanggal 1 Syawwal adalah qodho’.
📄 Adapun cara dalam melakukan melakukan zakat fitrah adalah
bisa dengan membayar sebesar satu sha' (1 sha'=4 mud, 1 mud=675 gr).
Perhitungan tersebut jika di implementasikan dalam bentuk yang lebih
general lagi kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.7 kg makanan pokok
(tepung, kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi
di daerah bersangkutan (Mazhab syafi'i dan Maliki).
👉 Sebagai contoh jika di Indonesia sebagian besar penduduknya
mengkonsumsi beras maka zakat bisa dibayarkan dalam bentuk beras.
👤 8 GOLONGAN YANG DAPAT MENERIMA ZAKAT
👤 1.FAQIR :
Yaitu yang tidak punya harta tidak punya pekerjaan, atau
punya pekerjaan atau harta akan tetapi tidak mencukupi dari kebutuhannya
sekiranya dia cuma mencukupi KURANG dari setengah kebutuhannya.
Contoh sebulan dia butuh 500ribu akan
tetapi penghasilannya kurang dari 250ribu.
👤 2.MISKIN:
Orang yang punya harta/pekerjaan lebih dari kebutuhan hidupnya
akan tetapi masih kurang dari kebutuhannya.
sekiranya dia cuma mencukupi LEBIH dari setengah kebutuhannya.
Contoh: sebulan dia butuh 500ribu dan pengasilanya lebih dari
setenggahny(500) penghasilan perbulan cuma 400ribu.
👤 3.AMIL :
Sesoarang yang di tunjuk oleh pemerintah untuk mengambil zakat
dan membagikannya, maka mereka boleh menerima zakat walupun
mereka termasuk orang kaya, dan ini jika mereka TIDAK DIBAYAR
oleh pemerintah, kalau mereka di bayar maka tidak boleh menerima zakat.
dan hanya di beri upah yang wajar untuk pekerjaannya.
👤 4.MUALLAF QULUBUHUM(ORANG2 YANG LEMAH IMANNYA) :
Yaitu mereka yang baru masuk islam/pemimpin yang diharapkan
ketika dia di kasih zakat maka pengikutnya akan ikut memeluk islam.
👤 5.MUKATIB :
Budak yang punya perjanjian secara tertulis dengan tuannya untuk merdeka.
👤 6.GHORIM (ORANG YANG BERHUTANG) :
Orang yang berhutang bukan untuk maksiat.
👤 7.ALGHUZZA (FI SABIlILLAH):
Orang yang berperang dan berjihad dan tidak mendapatkan bayaran
maka mereka boleh di beri zakat walupun mereka kaya.
👤 8.IBN SABIL:
Musafir yang kehabisan bekal nafakah untuk sampai ke tempat tujuannya,
maka boleh di berikan zakat.
walaupun mereka termasuk orang yang kaya di kampungnya.
💰 MENUNAIKAN ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG
📄 Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah
penunaian zakat fitrah dengan uang.
👉 Pertama,
Pendapat yang membolehkan.
📄 Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah,
Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah.
📙 (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107).
Dalil mereka antara lain firman Allah SWT ,
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.”
(QS At-Taubah [9] : 103).
Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal),
yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang).
Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang.
📙 (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat
al-Fithr Tha’am, hal. 4).
Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,
”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta
pada hari seperti ini (Idul Fitri).”
(HR Daruquthni dan Baihaqi).
Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin
dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang.
📙 (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).
👉 Kedua,
Pendapat yang tidak membolehkan
dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok
(ghalib quut al-balad).
📄 Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
📙 (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295)
Karena ada dua pendapat yang berbeda,
maka kita harus bijak dalam menyikapinya.
Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja
berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan,
”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya
mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah,
tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.”
📄 Dalam masalah ini, sebagai orang awam (kebanyakan),
kita boleh bertaqlid (mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan
dan diterima oleh umat).
Allah tidak membebani kita di luar batas kemampuan yang kita miliki.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya…”
(Al-Baqarah [2]: 286).
📄 Sesungguhnya masalah membayar zakat fitrah dengan uang sudah
menjadi perbincangan para ulama salaf,
bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja.
Imam Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri,
bahkan Umar bin Abdul Aziz sudah membincangkannya,
mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya.
Ulama Hadits seperti Bukhari ikut pula menyetujuinya,
dengan dalil danargumentasi yang logis serta dapat diterima.
📄 Menurut kami, membayar zakat fitrah dengan uang itu boleh,
bahkan dalam keadaan tertentu lebih utama.
Bisa jadi pada saat Idul Fitri jumlah makanan (beras) yang dimiliki
para fakir miskin jumlahnya berlebihan.
Karena itu, mereka menjualnya untuk kepentingan yang lain.
Dengan membayarkan menggunakan uang,
mereka tidak perlu repot-repot menjualnya kembali
yang justru nilainya menjadi lebih rendah.
Dan dengan uang itu pula, mereka dapat membelanjakannya sebagian
untuk makanan, selebihnya untuk pakaian dan keperluan lainnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Semoga bermanfaat
📙 " Kitab Taqrirat Assadidah"
Sabtu, 11 Mei 2019
KH MAS ALWI (SAYYID ABDUL AZIS AL-AZMATKHAN), PEMBERI NAMA NAHDLATUL ULAMA YANG TERLUPAKAN SEJARAH
Habib Alwi Azmatkhan, Sang Pemberi Nama NU yang Terlupakan, Makamnya pun Pernah Hilang. Sosok pemberi nama Nahdlatul Ulama (NU) adalah Sayid Alwi Abdul Aziz al-Zamadghon atau dikenal juga Habib Alwi Abdul Aziz Azmatkhan. Lazim disebut Kiai Mas Alwi. Ia putra kiai besar, Abdul Aziz al-Zamadghon. Bersepupu dengan KH. Mas Mansyur dan termasuk keluarga besar Sunan Ampel, yang juga pendiri sekolah Nahdlatul Waton dan pernah belajar di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Dari pulau garam, ia melanjutkan sekolah di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, lalu memungkasi rihlah ‘ilmiyah-nya di Makkah al-Mukarromah.
Setelah pulang dari keliling Eropa, ia membuka warung di Jalan Sasak Ampel, Surabaya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah berdirinya NU oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin, bahwa sebelum 1926, Kiai Hasyim Asy’ari telah berencana membuat organisasi Jami’iyah Ulama (Perkumpulan Ulama). Para kiai mengusulkan nama berbeda. Namun Kiai Mas Alwi mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Lantas Kiai Hasyim bertanya, “kenapa mesti pakai Nahdlatul, kok tidak jam’iyah ulama saja? Sayid Alwi pun menjawab, “karena tidak semua kiai memiliki jiwa nahdlah (bangkit). Ada kiai yang sekadar mengurusi pondoknya saja, tidak mau peduli terhadap jam’iyah.”
Akhirnya para kiai menyepakati nama Nahdlatul Ulama yang diusulkan Kiai Mas Alwi. Seorang ulama berdarah Hadramaut, Yaman. Lantas siapakah sosok penting yang namanya jarang disebut dalam kancah pergerakan NU selama ini?
Penyelidik Isu Pembaharuan Islam
Kiai Mas Alwi adalah salah seorang pendiri NU bersama Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Chasbullah, Kiai Ridlwan Abdullah, dan beberapa kiai besar lain. Mereka bergerak secara aktif di masyarakat sejak NU belum didirikan. Kiai Mas Alwi lah yang pertama mengusulkan nama Nahdlatul Ulama dalam versi riwayat keluarga Kiai Ridlwan Abdullah.
Namun nama Kiai Mas Alwi hampir jarang disebut dalam literatur sejarah NU. Apa sebabnya? Lantaran ia tidak memiliki keturunan dan dikeluarkan dari silsilah keluarga, sebagaimana yang akan tertulis di bawah ini. Hasil olah data dari karangan Maruf Khozin, Wakil Katib Syuriyah NU Kota Surabaya dan Anggota LBM PWNU Jatim. Riwayat ini berdasarkan kisah langsung dari Gus Sholahuddin Azmi, putra Kiai Mujib Ridlwan dan cucu Pendiri NU, Kiai Ridlwan Abdullah (pencipta lambang NU) .
Memang tidak ada data pasti mengenai kelahiran Kiai Mas Alwi. Hanya ditemukan petunjuk dari kisah Kiai Mujib Ridlwan bahwa ketiga kiai yang bersahabat semasa (Kiai Ridlwan Abdullah, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Alwi), secara usia tidak terlalu jauh jaraknya. Pada masa awal NU berdiri (1926), usia Kiai Ridlwan 40 tahun, Kiai Wahab 37 tahun, dan Kiai Mas Alwi 35 tahun. Maka, Kiai Mas Alwi diperkirakan lahir pada sekitar 1890-an.
Ketiga Kiai tersebut, bukan sosok yang baru bersahabat ketika mendirikan sekolah Nahdlatul Wathon, namun jauh sebelum itu, ketiganya telah menjalin persaudaraan sejak berada di Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura.
Kiai Wahab dan Kiai Mas Alwi adalah dua kiai yang sudah terlihat hebat sejak masih nyantri di pondok, terutama dari sisi kecerdasan dan kecakapannya sebagai santri. Bersama Kiai Ridlwan Abdullah, Kiai Wahab Chasbullah, dan saudara sepupunya, Kiai Mas Mansur, Kiai Mas Alwi turut membidani pendirian Nahdlatul Wathon. Saat itu, Kiai Mas Mansur menjabat sebagai kepala sekolah, sebelum terpengaruh pemikiran pembaharuan Islam di Mesir yang kemudian menjadi pengikut Muhammadiyah.
Mendalami Renaisans Islam
Saat merebak isu Pembaharuan Islam (Renaissance), Kiai Mas Mansur, adik sepupu Kiai Mas Alwi, mempelajarinya langsung pada Muhammad Abduh, rektor Universitas al-Azhar, Mesir. Maklum, Kiai Mas Mansur berasal dari keluarga yang mampu secara material, sehingga dapat mencari ilmu hingga ke Aleksandria (Mesir) sana.
Kiai Mas Alwi yang bukan dari keluarga kaya pun, bertanyatanya tentang apa yang sejatinya dicari Kiai Mas Mansur hingga ke negeri Mesir. Padahal Renaissance (pembaharuan) itu berasal dari Eropa. Maka ia pun berusaha mengetahui apa sebenarnya Renaissance itu ke Eropa, melalui Belanda dan Prancis–dengan menggabungkan diri dalam pelayaran.
Pada masa itu, orang yang bekerja di pelayaran mendapat stigma buruk di masyarakat dan memalukan bagi keluarga. Sebab pada umumnya pekerja pelayaran selalu melakukan perjudian, zina, mabuk, dan tindak asusila lainnya. Sejak saat itulah keluarga Kiai Mas Alwi mengeluarkannya dari silsilah keluarga dan diusir dari rumah.
Setelah Kiai Mas Alwi berhasil mendapat jawaban dari kegelisahannya, ia pun kembali ke Hindia Belanda. Setiba di tanah air, ia langsung dikucilkan oleh para sahabat, rekan sejawat, dan para tetangga. Tak patah arang, Kiai Mas Alwi membuka warung kecil di Jalan Sasak, dekat wilayah Ampel, demi memenuhi hajat hidupnya. Mengetahui ia telah pulang dari perantauan, Kiai Ridlwan pun datang menyambang.
Najis mughalladzah
Kenapa sampean datang ke sini, Kang? Nanti sampean dicuci pakai debu sama para kiai lain, sebab warung saya ini sudah dianggap najis mughalladzah?
Kiai Ridlwan malah balik bertanya.
Dik Mas Alwi, sebenarnya apa yang sampean lakukan sampai pergi berlayar ke Eropa?
Begini, Kang Ridlwan. Saya ingin memahami apa sih sebenarnya Renaissance itu? Lah, Dik Mansur mendatangi Mesir untuk mempelajari Renaissance itu salah, sebab tempatnya ada di Eropa. Coba sampean lihat nanti kalau Dik Mansur datang, dia pasti akan berkata begini, begini dan begini… (maksudnya adalah kembali ke al-Quran-Hadits, tidak bermadzhab, tuduhan bidah dan sebagainya)
Renaisans di Mesir itu sudah tidak murni lagi, Kang Ridlwan, sudah dibawa makelar. Lha orang-orang itu mau melakukan pembaharuan apa dalam tubuh Islam? Agama Islam sudah sempurna. Tidak ada lagi yang harus diperbaharui. Al-Quran dengan jelas menyatakan”:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS. al-Maidah [5]: 3)
Inti dari perjalanan Kiai Mas Alwi ke Eropa adalah, Renaisans yang ada dalam dunia Islam adalah upaya pecah belah yang dihembuskan dunia Barat, khususnya Belanda dan Prancis. Kiai Ridlwan kembali bertanya.
“Dari mana sampean tahu?”
Karena saya berhasil masuk ke banyak perpustakaan di Belanda.”
Bagaimana caranya sampean bisa masuk?
Dengan menikahi perempuan Belanda yang sudah saya Islam-kan. Dialah yang mengantar saya ke banyak perpustakaan. Untungnya saya tidak punya anak dengannya.”
Setelah Kiai Mas Alwi membabarkan perjalanannya ke Eropa secara panjang lebar, maka Kiai Ridlwan berkata: Begini, Dik Alwi, saya ingin menjadi pembeli terakhir di warung ini.”
Ya jelas terakhir, Kang Ridlwan, karena ini sudah malam.”
Bukan begitu. Sampean harus kembali lagi ke Nahdlatul Wathon. Sebab sudah tidak ada yang membantu saya sekarang. Kiai Wahab lebih aktif di Taswirul Afkar. Sampean harus membantu saya.”
Keesokan pagi, sebelum Kiai Ridlwan sampai di Nahdlatul Wathon, ternyata Kiai Mas Alwi sudah tiba lebih dulu. Kiai Ridlwan yang masih kaget pun berkata:
Kok sudah ada di sini?
Ya, Kang Ridlwan, tadi malam ternyata warung saya laku dibeli orang. Uangnya bisa kita gunakan untuk sekolah ini.”
Kedua kiai muda tersebut kemudian kembali membesarkan nama sekolah Nahdlatul Wathon.
Makam Kiai Mas Alwi
Sampai saat ini, belum ditemukan pula data tentang kapan Kiai Mas Alwi wafat, yang jelas, makam beliau terletak di pemakaman umum Rangkah, yang sudah lama tak terawat–bahkan pernah berada dalam dapur pemukiman liar yang ada di tanah pekuburan umum.
KH Asep Saefuddin, Ketua PCNU Surabaya, pernah mengerahkan Banser guna menertibkan rumahrumah yang merambah ke makam Kiai Mas Alwi. Maka sejak saat itu, makam beliau mulai dibangun dan diberi pagar. Kini, setiap perhelatan Harlah NU, Pengurus Cabang NU Surabaya kerap mengajak MWC dan Ranting se-Surabaya untuk ziarah ke makam para Muassis, khususnya wilayah Surabaya.
Pertanyaan kita, mengapa beliau dikebumikan di pemakaman umum? Tak ada jawaban pasti. Kemungkinan terbesar, karena beliau telah dikeluarkan dari silsilah keluarganya.
Sebagian kecil Nahdliyin yang mengetahui fakta ini sempat mengusulkan agar makam beliau dipindah ke kawasan Ampel. Berita ini telah diterima oleh PCNU Surabaya dan akan ditindaklanjuti. Tetapi bila prosesnya menemukan jalan buntu, maka PCNU akan berencana memindah makam beliau ke kawasan makam Jl. Tembok, diletakkan di sebelah makam sahabatnya, Kiai Ridlwan Abdullah.
Di area makam tersebut telah dikebumikan pula beberapa tokoh NU, di antaranya adalah; KH Abdullah Ubaid dan KH Thohir Bakri (dua tokoh pendiri Ansor), Kiai Abdurrahim (salah seorang pendiri Jamqur atau Jam’iyah Qurra wa l-Huffadz), Kiai Hasan Ali (Kepala logistik Hizbullah), Kiai Amin, Kiai Wahab Turham, Kiai Anas Thohir, Kiai Hamid Rusdi, Kiai Hasanan Nur, dan beberapa kiai lain.
Sosok besar yang nyaris terpendam dalam kuburan sejarah ini, telah menanggung risiko serius dengan dikeluarkan dari daftar keluarga sekaligus hak warisnya. Namun ia tetap melanjutkan tekadnya meneliti akar persoalan umat Islam saat itu hingga sampai ke Benua Biru. Sudah sepantasnya Muslim Indonesia harus menyertakan nama Kiai Mas Alwi saat nama para Muassis NU lain disebut.
Semoga Allah mengganjar perjuangan Kiai Mas Alwi dan para Muassis NU sebagai amal jariyah mereka. Semoga Allah mengangkat derajat mereka dan memberi keberkahan kepada para pejuang NU saat ini, sebagaimana Allah telah melimpahkan keberkahan kepada mereka semua. Semoga juga Pemerintah saat ini tergerak menahbis Kiai Mas Alwi sebagai pahlawan bangsa Indonesia–setelah Kiai As’ad Syamsul Arifin–dari kalangan Nahdlatul Ulama. Amin ya Rabb l-‘Alamin. Al-Fatihah…
MEMBONGKAR RAHASIA MUHAMMADIAH YANG SELALU BEDA DENGAN NU
------------------------------------------------
KH. Ahmad Dahlan dan Kh. Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli hadits dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan Islam menurut skil dan lingkungan masing-masing. Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari Kuto Ngayogyokarto. Sementara Kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia.
.
Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan Kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.
--------------------------------------------------
Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain
--------------------------------------------------
1. Shalat Tarawih sama-sama 20 rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat Tarawih 20 rakaat di Masjid Syuhada Yogya.
2. Talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan.
3. Baca doa Qunut Shubuh.
4. Sama-sama gemar membaca shalawat (Diba’an).
5. Dua kali khutbah dalam shalat Ied, Iedul Fithri dan Iedul Adha.
6. Tiga kali takbir, “Allah Akbar”, dalam takbiran.
7. Kalimat iqamah (qad qamat ash-shalat) diulang dua kali.
8. Dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.
--------------------------------------------------
Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat.
.
Semuanya tertulis dalam kitab Fiqih Muhammadiyah yang terdiri dari 3 jilid, yang diterbitkan oleh: Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343-an H. --------------------------------------------------
Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktek ibadah yang rupanya “harus beda” dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail (dalil-dalil), nanti difikir bareng dan dicari-carikan.
.
Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah tesis yang meneliti hadits-hadits yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.
.
Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah: bahwa mayoritas hadits-hadits yang dipakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha’if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma’in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha’if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau fadhail al-a’mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
.
Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktek ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih 8 plus 3 witir, bagaimana prakteknya?
.
Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi: 4, 4, 3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk Tarawih. Dan tiga rakaat untuk Witir. Model Witir tiga sekaligus ini versi madzhab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu Witir. Ini versi asy-Syafi’i.
.
Tapi pada tahun 1987, praktek shalat Tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH. Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di Masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadits dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadits Muslim lebih shahih ketimbang hadits empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan Majlis Tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushalla di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat Tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.
--------------------------------------------------
Kini soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan Pak Harto.
.
Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai Departemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu dipakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama menggunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai hadits rukyah dan ikmal.
--------------------------------------------------
Oleh karena itu, tahun 90-an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh Departemen Agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta.
.
Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.
--------------------------------------------------
Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas.
.
Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.
.
Lalu membuat metode “wujud al-hilal”. Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback up pemerintah. Hadits yang dulu dielu-elukan, ayat al-Quran berisikan seruan “taat kepada Allah, RasulNya dan Ulil Amri” dibuang dan alergi didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.
.
Populerkah metode “wujud al-hilal” dalam tradisi keilmuwan falak? Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupun sekarang.
--------------------------------------------------
Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah hilal harus derajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya. Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya takkan bisa disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.
.
Dilihat dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang persoalan di kalangan umat?
--------------------------------------------------
Menyikapi lebaran dua versi, warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain?
.
Perkara dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu’ atau teropong modern sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.
--------------------------------------------------
Hebatnya, semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan Majlis Tarjih. Tidak ada yang mengkritik, padahal kelemahan akademik pasti ada.
(Diedit ulang dari tulisan Ustadz Sulaiman Timun Mas).
Jumat, 10 Mei 2019
BASMALAH DALAM RENUNGAN SUFI
Ada cerita di kalangan sufi. Pada suatu hari Junaid Al-Baghdadi mikraj, naik ke langit. Pada perjalanannya, ketika sampai pada langit pertama, ia melihat ada kumpulan malaikat sedang ruku’ dan zikir. Junaid ditanya oleh para malaikat, “Hai Junaid, bergabunglah bersama kami dengan berzikir mensucikan nama Tuhanmu.”
Junaid menjawab, “Tidak. Ajakan kalian tidak aku kehendaki.” Lalu ia naik ke tingkat yang kedua. Ia melihat ada kumpulan orang sedang ruku’. Junaid diseru, “Hai Junaid, bergabunglah bersama kami.” Junaid menjawab, “Tidak. Aku tidak ingin bergabung dengan kalian.”
Lalu ia naik ke tingkat ketiga. Ia melihat ada sekelompok orang yang sedang sujud. Junaid diseru oleh mereka untuk bergabung. Junaid menjawab, “Aku tidak ingin bergabung denganmu.”
Lalu sampailah ia pada suatu tempat yang lebih tinggi, yang disebut Sidhratul Muntahâ. Pada tempat itu, ia mendengar perkataan, “Apa yang kamu kehendaki, wahai Junaid?” Junaid berkata, “Aku berkehendak supaya aku tidak mempunyai kehendak lagi.”
Inilah yang disebut sebagai puncak perjalanan tasawuf. Pada tingkat ini, kalimat basmalah mempunyai kedudukan sama dengan kata kun. Jika orang sudah sampai pada tingkat ini (mendahulukan kehendak Allah), ucapannya adalah sebuah kebenaran.
Syekh Jawad Amuli menyebutkan contoh orang seperti ini adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Semua perkataan Abu Dzar adalah kebenaran. Rasulullah bahkan pernah bersabda, “Di bawah naungan langit dan di atas permukaan bumi ini tidak ada lidah yang lebih jujur selain lidah Abu Dzar.” Mengapa Abu Dzar sampai pada tahap seperti itu? Karena, ia sudah sampai pada tingkat tawakal kepada Allah; ia menyerahkan seluruh kehendaknya hanya untuk Allah. Dalam kitab Nur Al-Tsaqalain disebutkan: Sesungguhnya basmalah itu lebih dekat dengan nama Allah yang Mahaagung daripada dekatnya hitam mata dengan putihnya. Basmalah adalah nama agung bagi orang yang sudah mencapai derajat tertentu. Allah: Antara Kasih Sayang dan Murka
Dalam basmalah itu terdapat asma-asma Allah yang menunjukkan sifat jalâliyyah dan jamâliyyah. Asma-asma yang disebut dalam Basmallah adalah Allah,Al-Rahmân, dan Al-Rahîm. Menurut Al-Razi, asma Allah menunjukkan lafzh al-jalâlah. Allah adalah nama zat yang menunjukkan kebesaran-Nya. Dengan kata Allah itu, ditunjukkanlah kekuasaan, ke-Mahabesaran, dan ke-Mahatinggian Allah. Sesudah itu, Allah menyebut Al-Rahman dan Al-Rahim. Dan itulah sifat jamâliyyah (sifat kasih sayang). Allah hanya menggunakan satu nama untuk menggambarkan kebesaran-Nya, yaitu kata Allah. Tapi untuk menggambarkan kasih sayang-Nya, Allah menggunakan dua nama, yaitu Al-Rahman dan Al-Rahim. Ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar, lebih banyak, dan jauh lebih tinggi daripada ke-Mahakuasaan-Nya.
Kita tahu ada dua wajah Allah. Pertama, wajah Allah yang keras, yang berat siksaan-Nya (Syadîd Al-’Iqâb). Inilah yang menunjukkan sifat jalâliyyah. Kedua, wajah lain dari Allah yang Pengasih dan Penyayang; wajah yang selalu siap mendengarkan keluhan dan penderitaan kita; wajah yang setiap malam menunggu kita untuk datang berdialog dengan-Nya; wajah yang selalu melimpahi setiap makhluk dengan anugerah-Nya, walaupun makhluk-Nya itu setiap saat bertambah kemaksiatan dan kedurhakaan kepada-Nya. Itulah wajah yang dalam istilah tasawuf disebut sebagai sifat-sifat jamâliyyah, yakni sifat-sifat keindahan Allah.
Dalam basmalah ditunjukkan bahwa sifat jamâliyyah Allah lebih besar daripada sifat jalâliyyah-Nya. Kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kemurkaan-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi diriwayatkan: Aku ingin murka melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh makhluk-Ku. Tetapi Aku melihat orang-orang tua yang ruku’ dan sujud, anak-anak yang menyusu pada ibunya, dan binatang-binatang yang mencari makanan. Maka berhentilah kemarahan-Ku. Jadi, kasih sayang Tuhan jauh lebih besar daripada kemurkaan-Nya. Sehingga di dalam doa Kumayl, disebutkan Wahai Zat yang lebih cepat rida-Nya. Tuhan memang murka juga. Tetapi rida-Nya jauh lebih cepat.
Sebagian ulama mengatakan bahwa azab Allah juga berarti percikan kasih sayang-Nya. Dalam hidup ini, seringkali Allah memberikan pelajaran, baik berupa ujian maupun azab, kepada kita. Sebetulnya itu adalah percikan dari kasih sayang Allah. Siksaan dan ujian yang kita terima dalam kehidupan ini, tetap berasal dari samudera kasih sayang Allah swt.
Kita pernah menceritakan keluhan seorang sahabat kepada Nabi saw. Ia mengeluh karena setelah masuk Islam dagangannya rugi dan tubuhnya sering ditimpa penyakit. Ia berkata, “Ya Rasulallah, tubuhku sakit dan hartaku hilang.” Lalu Nabi menjawab bahwa ujiannya itu adalah tanda dari kasih sayang Allah, bukan tanda dari kemurkaan-Nya. Tak ada baiknya seseorang yang tubuhnya tidak pernah sakit dan hartanya tidak pernah rugi. Karena, apabila Allah mencintai seorang hamba, Allah akan coba ia dengan berbagai ujian, Ujian adalah percikan kasih sayang Allah. Begitu juga halnya dengan azab Allah yang Ia berikan pada hari akhirat nanti, ia masih merupakan percikan dari rahmân rahîm-Nya.
Kamis, 09 Mei 2019
MEMBALAS KEBENCIAN DENGAN KASIH SAYANG
Salah seorang di antara tokoh besar dalam dunia kesucian adalah orang Mesir yang bernama Dzunnun. Karena ia berasal dari Mesir, maka ia dikenal dengan sebutan Dzunnun Al-Mishri, Dzunnun Si Orang Mesir.
Ketika ia masih hidup, orang-orang tidak mengenalnya sebagai orang yang dekat dengan Allah. Ia malah lebih banyak dicela dan dicemooh orang karena dianggap kafir, ahli bidah, dan orang murtad. Ia tidak pernah membalas semua tuduhan itu dengan kemarahan atau serangan balik.
Ia bahkan menunjukkan dirinya seakan-akan ia mengakui seluruh celaan itu. Selama ia hidup, orang-orang tidak mengetahui bahwa Dzunnun adalah salah seorang di antara waliyullah, kekasih Allah. Orang mengetahui kedekatannya dengan Tuhan setelah Dzunnun meninggal dunia.
Menurut Al-Hujwiri, pada malam kematian Dzunnun, tujuh puluh orang bermimpi melihat Rasulullah saw. Dalam mimpi itu, Nabi bersabda, ” Aku datang menemui Dzunnun, sang wali Allah.” Sesudah kematiannya, konon di atas keningnya tertulis: Inilah kekasih Tuhan, yang mati karena mencintai Tuhan, dan dibunuh oleh Tuhan.
Masih menurut Al-Hujwiri, pada saat penguburan Dzunnun, burung-burung di angkasa berkumpul di atas kerandanya sambil mengembangkan sayap mereka seakan-akan ingin melindungi jenazahnya. Pada saat itulah orang-orang Mesir menyadari kekeliruan mereka dalam memperlakukan Dzunnun selama ini.
Ada banyak kisah tentang Dzunnun dan hampir semua kisah hidupnya itu menjadi pelajaran yang amat berharga. Kisah-kisah itu menjadi petunjuk bagi kita dalam mendekati Allah swt. Di antara kisah-kisah yang dituturkan tentang Dzunnun adalah satu kisah ketika ia berlayar bersama para santrinya dengan sebuah perahu di atas sungai Nil.
Alkisah, pada suatu hari, berlayarlah mereka di sungai Nil. Yang sedang berekreasi di sungai itu bukan hanya orang-orang saleh seperti Dzunnun dan para santrinya, tetapi juga orang-orang yang menggunakan rekreasi sebagai alat untuk melakukan kemaksiatan.
Di tengah jalan, bertemulah dua kelompok perahu yang mempunyai ideologi yang berbeda itu. Pada perahu yang satu, terdapat Dzunnun, sang kiai, bersama para santrinya. Mereka melantunkan zikir kepada Allah Swt. Pada perahu yang lain, ada sekelompok anak muda yang memetik gitar, berhura-hura, berteriak-teriak, dan berperilaku yang menjengkelkan santri-santri Dzunnun.
Karena para santri percaya bahwa doa-doa Dzunnun pasti diijabah, mereka meminta Dzunnun untuk berdoa kepada Allah supaya perahu anak-anak muda itu ditenggelamkan Tuhan jauh ke dasar sungai Nil. Dzunnun lalu mengangkat kedua belah tangannya dan berdoa: Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan orang-orang itu kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, beri juga mereka satu kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti.
Santri-santrinya tercengang. Semula mereka berharap Dzunnun akan mendoakan anak-anak muda yang ugal-ugalan itu agar ditenggelamkan Tuhan karena anak-anak muda itu memandang kehidupan hanya semata-mata kesenangan saja. Tapi aneh bin ajaib, Dzunnun hanya berdoa seperti di atas. Para santri terkejut mendengar doa Dzunnun.
Ketika perahu anak-anak muda itu mendekat, mereka melihat Dzunnun ada di perahu itu. mereka menyesal dan meminta maaf. Entah bagaimana, memandang wajah Dzunnun membawa mereka kepada kesucian. Mereka meremukkan alat-alat musik mereka dan bertaubat kepada Tuhan.
Waktu itulah Dzunnun memberi pelajaran kepada para santrinya, “Kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti adalah bertaubat di dunia ini. Dengan cara begini, kalian dan mereka puas tanpa merugikan siapa pun. ”
Kita tertarik dengan cerita Dzunnun ini. Kita terbiasa untuk menaruh dendam kepada orang-orang di sekitar kita. Seringkali setelah kita menjalani kehidupan yang baik, kita jengkel kepada orang-orang yang kita anggap buruk. Ketika ada orang yang memperlakukan kita dengan jelek, kita berharap bahwa kita bisa membalas kejelekan itu dengan kejelekan kita lagi. Untuk itu kita sering menutup-nutupinya dengan berkata, “Supaya ini jadi pelajaran bagi mereka.”
Dzunnun melanjutkan tradisi para rasul Tuhan yang mengajarkan kepada kita untuk membalas kejelekan yang dilakukan orang lain dengan kebaikan. Bayangkanlah ketika Anda berdoa supaya saingan Anda hancur, agar musuh Anda binasa, Anda akan memperoleh satu manfaat saja: Kepuasan hati karena hancurnya saingan Anda. Tapi ketika Anda berdoa: Ya Allah, ubahlah kebencian musuh-musuhku menjadi kasih sayang, Anda akan mendatangkan manfaat kepada semua orang. Sama seperti doa Dzunnun Al-Mishri.
Dahulu, Nabi Isa as beserta murid-muridnya lewat di depan rombongan pemuda yang ugal-ugalan juga. Mereka bukan saja melakukan tindakan-tindakan maksiat ketika kelompok Nabi Isa datang, mereka juga malah melemparkan batu ke arah Nabi Isa. Nabi Isa as berhenti dan memandang mereka untuk kemudian mendoakan kebaikan bagi mereka.
Murid-muridnya bertanya, “ Mereka melempari batu ke arahmu tapi mengapa engkau malah membalas dengan doa yang baik?”
Nabi Isa as menjawab, “ Itulah bedanya kita dengan mereka. Mereka kirimkan kepada kita keburukan dan kita kirimkan kepada mereka kebaikan. ”
Baca juga
Dimanakah kita ini?
Siapa yang jamin
Mengundang Tuhan
Rasulullah saw dilempari orang di Thaif ketika beliau mengajak mereka kepada Islam sampai kakinya berlumuran darah. Ketika malaikat datang kepadanya menawarkan untuk menimpakan gunung di atas orang-orang yang menyerangnya, Nabi hanya berkata: Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti.
Dzunnun Al-Mishri mengajari kita tradisi para nabi dan orang-orang saleh; membalas kejelekan dengan kebaikan. Jadilah kita seperti pohon Mangga di tepi jalan, yang dilempari orang dengan batu tetapi ia mengirimkan kepada si pelempar itu, buah yang telah ranum. B erbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.
Di antara perbuatan baik yang sangat tinggi nilainya adalah membalas keburukan orang kepada kita dengan kebaikan. Ini bukanlah suatu hal yang mustahil, melainkan ini adalah ajaran kesucian yang akan membawa kita lebih dekat kepada Allah Swt.
_Subhanallah_
Rabu, 08 Mei 2019
Dimanakah kita?
Jika buku-buku yang kita baca menjadikan kita merasa lebih tahu daripada sesama...
Jika kajian-kajian yang kita hadiri membuat kita merasa telah pasti berada di jalan yang diridhai..
Jika dengan berada di jama'ah A, mengutip Syaikh B, dan menjadi murid Ustadz C mengeluarkan dalam dada kalimat, "Aku lebih baik daripada dia.."
Jika 'ilmu & 'amal yang kita raih menumbuhkan perasaan betapa berhaknya kita atas surga..
Mari kita simak satu kisah di antara berpuluh ribu kemuliaan para salafush shalih.
Adalah Al Imam Abul Faraj ibn Al Jauzy, rautan pena yang digunakannya untuk menulis dapat menyalakan perapian sebuah rumah selama berbulan-bulan. Jika jumlah halaman seluruh karya tulisannya yang sekira 2000 judul dibagi dengan umurnya sejak baligh, maka dihasilkan bilangan 40 halaman per hari.
Melalui dakwahnya, lebih dari 30.000 Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Melalui mau'izhahnya, lebih dari 100.000 orang bertaubat dari dosa-dosa. Tapi adalah beliau berwasiat kepada para muridnya sambil menangis terisak-isak.
"Jika kalian telah masuk ke dalam surga Allah", ujarnya di sela sesenggukan, "Sedang kalian tak mendapatiku ada di sana.. Maka tanyakanlah oleh kalian tentang diriku. Lalu katakanlah, 'Ya Rabbi, sungguh hambaMu si fulan pernah mengingatkan kami tentang Engkau.. Maka angkatlah dia, sertakan bersama kami dengan rahmatMu." Dan beliau semakin tersedu.
Yaa Rabbanaa.. Aina nahnu min akhlaqis salaf.. Di manakah kedudukan kami dibanding segala kebajikan yang mereka dengan ilmu dan 'amalnya; lalu di mana pula kami dibanding akhlaq dan ketawadhu'an mereka...?
_Subhanallah, inni shoghiir, dho'iif, dan faqiir ilmi wal'amal_
Jika kajian-kajian yang kita hadiri membuat kita merasa telah pasti berada di jalan yang diridhai..
Jika dengan berada di jama'ah A, mengutip Syaikh B, dan menjadi murid Ustadz C mengeluarkan dalam dada kalimat, "Aku lebih baik daripada dia.."
Jika 'ilmu & 'amal yang kita raih menumbuhkan perasaan betapa berhaknya kita atas surga..
Mari kita simak satu kisah di antara berpuluh ribu kemuliaan para salafush shalih.
Adalah Al Imam Abul Faraj ibn Al Jauzy, rautan pena yang digunakannya untuk menulis dapat menyalakan perapian sebuah rumah selama berbulan-bulan. Jika jumlah halaman seluruh karya tulisannya yang sekira 2000 judul dibagi dengan umurnya sejak baligh, maka dihasilkan bilangan 40 halaman per hari.
Melalui dakwahnya, lebih dari 30.000 Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Melalui mau'izhahnya, lebih dari 100.000 orang bertaubat dari dosa-dosa. Tapi adalah beliau berwasiat kepada para muridnya sambil menangis terisak-isak.
"Jika kalian telah masuk ke dalam surga Allah", ujarnya di sela sesenggukan, "Sedang kalian tak mendapatiku ada di sana.. Maka tanyakanlah oleh kalian tentang diriku. Lalu katakanlah, 'Ya Rabbi, sungguh hambaMu si fulan pernah mengingatkan kami tentang Engkau.. Maka angkatlah dia, sertakan bersama kami dengan rahmatMu." Dan beliau semakin tersedu.
Yaa Rabbanaa.. Aina nahnu min akhlaqis salaf.. Di manakah kedudukan kami dibanding segala kebajikan yang mereka dengan ilmu dan 'amalnya; lalu di mana pula kami dibanding akhlaq dan ketawadhu'an mereka...?
_Subhanallah, inni shoghiir, dho'iif, dan faqiir ilmi wal'amal_
Siapa yang jamin
Beberapa orang itu benar-benar dilanda gemas-gemas sesal. Bagaimana tidak, kedatangan mereka ke Madinah hanya berselang beberapa hari dari wafatnya Rasulullah ﷺ. Duhai ruginya, jerit hati mereka.
Maka di dekat rumah Ibunda 'Aisyah yang jadi pembaringan terakhir sang junjungan itu mereka meratap-ratap galau, merutuki keterlambatan mereka hingga tak berjumpa sosok Muhammad ﷺ, tak sempat menatap wajah dan bersimpuh di hadapan senyumnya yang syahdu. Lalu lewatlah sahabat mulia, Abud Darda' menegur mereka.
"Buat apa meratapi tak sempatnya berjumpa Rasulullah ﷺ? Mengapa tidak kalian syukuri saja bahwa Allah menganugerahkan iman dan islam kepada kalian? Siapa yang menjamin kalau kalian berjumpa dengan Nabi ﷺ kalian akan beriman pada beliau? Bukankah begitu banyak orang berjumpa Nabi ﷺ hanya untuk disungkalkan wajahnya ke dalam jahannam? Siapa yang menjamin kalian akan dapat hidayah sementara Abu Thalib yang membela beliau dengan harta dan raganya saja meninggal dalam keadaan kafir?"
Ah, benarlah Abud Darda'. Siapa yang jamin?
Inilah mengapa kita tak pernah boleh memandang rendah pada sesama yang tampak berada dalam gelimang dosa di saat kita telah mendapat nikmat hijrah. Siapa yang jamin kita akan mengakhiri hidup lebih baik dibanding mereka? Siapa yang jamin kita mampu istiqamah?
Andai bukan karena hidayahNya, jangan-jangan keingkaran kita lebih mengerikan daripada mereka. Andai bukan karena taufikNya, jangan-jangan maksiat kita lebih menjijikkan daripada mereka. Andai bukan karena rahmatNya, jangan-jangan dosa kita tak terampunkan ketika orang lain panen pahala.
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
"Tetapi Allah-lah yang menjadikan kalian cinta pada keimanan dan menjadikan iman itu indah di dalam hati kalian, dan Dia menjadikan kalian benci pada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan..." (QS Al Hujurat: 7)
Allah, hanya Allah yang memberi nikmat hidayah. Kita bukan apa-apa tanpaNya. Syukuri hijrah dengan istiqamah, dan jangan pernah memandang sesama lebih rendah. Karena, siapa yang jamin?
Maka di dekat rumah Ibunda 'Aisyah yang jadi pembaringan terakhir sang junjungan itu mereka meratap-ratap galau, merutuki keterlambatan mereka hingga tak berjumpa sosok Muhammad ﷺ, tak sempat menatap wajah dan bersimpuh di hadapan senyumnya yang syahdu. Lalu lewatlah sahabat mulia, Abud Darda' menegur mereka.
"Buat apa meratapi tak sempatnya berjumpa Rasulullah ﷺ? Mengapa tidak kalian syukuri saja bahwa Allah menganugerahkan iman dan islam kepada kalian? Siapa yang menjamin kalau kalian berjumpa dengan Nabi ﷺ kalian akan beriman pada beliau? Bukankah begitu banyak orang berjumpa Nabi ﷺ hanya untuk disungkalkan wajahnya ke dalam jahannam? Siapa yang menjamin kalian akan dapat hidayah sementara Abu Thalib yang membela beliau dengan harta dan raganya saja meninggal dalam keadaan kafir?"
Ah, benarlah Abud Darda'. Siapa yang jamin?
Inilah mengapa kita tak pernah boleh memandang rendah pada sesama yang tampak berada dalam gelimang dosa di saat kita telah mendapat nikmat hijrah. Siapa yang jamin kita akan mengakhiri hidup lebih baik dibanding mereka? Siapa yang jamin kita mampu istiqamah?
Andai bukan karena hidayahNya, jangan-jangan keingkaran kita lebih mengerikan daripada mereka. Andai bukan karena taufikNya, jangan-jangan maksiat kita lebih menjijikkan daripada mereka. Andai bukan karena rahmatNya, jangan-jangan dosa kita tak terampunkan ketika orang lain panen pahala.
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
"Tetapi Allah-lah yang menjadikan kalian cinta pada keimanan dan menjadikan iman itu indah di dalam hati kalian, dan Dia menjadikan kalian benci pada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan..." (QS Al Hujurat: 7)
Allah, hanya Allah yang memberi nikmat hidayah. Kita bukan apa-apa tanpaNya. Syukuri hijrah dengan istiqamah, dan jangan pernah memandang sesama lebih rendah. Karena, siapa yang jamin?
Mengundang Tuhan
Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa, “Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan kami.”
Dengan marah Musa menjawab, “Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?” Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, “Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba-Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat petang.”
Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah dari perjalanan jauh. “Saya lapar sekali,” katanya kepada Musa. “Berilah aku makanan.” Musa berkata, “Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan bantuan.” Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka anggap telah memperdayakan mereka.
Musa menaiki bukit Sinai dan berkata, “Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan.” Tuhan menjawab, “Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan.”
“Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia biasa,” kata Musa.
“Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku.”
Berbakti kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang. Setiap Muslim apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya berkewajiban memperlakukan semua orang dengan baik.
TANGAN YANG DICIUM RASULULLAH
Rasulullah SAW yang baru pulang dari peperangan. Ketika tiba di Madinah, beliau disambut banyak orang. Begitu beliau datang, ada seorang penjual air yang mendekati Nabi SAW hendak mencium tangan beliau. Akan tetapi, Nabi SAW tidak mau menerimanya, sebaliknya beliau mengambil tangan penjual air itu untuk dicium.
Ketika bersentuhan tangan dengan orang itu, Nabi SAW merasakan tangannya kasar sekali. Lalu, Nabi SAW bertanya, “Kenapa tanganmu kasar sekali?” Orang itu menjawab, “Yaa Rasulullah, kerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah kepada keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar.”
Apa yang dilakukan Nabi yang agung itu? Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang paling mulia, jauh lebih mulia daripada siapapun, tetapi orang yang paling mulia itu begitu melihat tangan yang kasar karena mencari nafkah yang halal, menggenggam tangan itu, dan menciumnya. Saat Rasulullah SAW hendak mencium tangan itu, beliau berkata, _“Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”_‘inilah tangan yang tak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya’.
Tangan yang tidak pernah disentuh oleh api neraka itu bukan tangan yang lembut, yang berkali-kali membuka ayat-ayat al-Qur’an, bukan tangan yang sekali tanda tangan, ratusan juta rupiah cair, tetapi adalah tangan yang melepuh karena bekerja keras mencari nafkah yang halal. “Kulit yang dicintai oleh Nabi SAW, yaitu kulit yang menghitam karena dibakar terik matahari, bukan kulitnya ibu-ibu yang memutih karena tidak pernah kena sengatan matahari. Tangan yang dicintai dan dicium oleh Rasulullah SAW adalah tangan yang menjadi keras (kapalan), kulit melepuh karena mencari nafkah."
Hal yang sama terjadi terhadap puteri Rasulullah SAW, yang sangat disayangi lebih daripada segala-galanya, Fathimah Azzahra. Ketika Rasulullah tengah duduk bersama orang banyak, Fathimah datang, lalu Nabi SAW berdiri menyambut puterinya dan mengambil tangan Fathimah serta menciumnya. “Bayangkan, orang-orang di zaman Nabi SAW itu berebut untuk mencium tangan Nabi SAW, tetapi saat itu, Nabi SAW malah mencium tangan orang lain. Dan siapakah tangan yang dicium Nabi SAW itu? Di antaranya adalah tangan puterinya, Sayyidah Fathimah Azzahra salamallahi ‘alaiha."
Mengapa Nabi SAW mencium tangan Sayyidah Fathimah? Ada sebuah riwayat, ketika hendak berangkat ke masjid, Salman al-Farisi mendengar tangisan anak-anak kecil, yaitu Hasan dan Husain dari rumah Fathimah. Saat singgah di rumah Fathimah, ia melihat sang ibu sedang sibuk menggiling gandum, dan tidak ada yang membantunya untuk mengurus anak-anaknya sehingga Salman menawarkan diri, “biarlah saya yang menggiling gandum itu, dan ibunda yang mengurus anak-anak itu.” Ketika menggiling gandum, Salman melihat tangan Sayyidah Fathimah kasar, melepuh karena setiap hari bekerja keras tanpa seorang pun yang membantunya di rumah.
Fathimah Azzahra as sudah terbiasa bekerja keras tiap hari sambil mengurus anak-anaknya, bahkan pernah bekerja merajut (memintal) benang di rumah orang Yahudi, yang upahnya adalah sebungkus gandum yang dibuat roti untuk berbuka puasa. Suatu saat, ketika roti telah siap dihidangkan untuk berbuka, tiba-tiba ada yang berteriak-teriak dari luar rumah, “Ya Ahlulbait Nabi SAW, wahai keluarga Nabi, saya ini orang miskin yang datang dari kalangan kaum muslimin, saya sudah beberapa hari tidak makan, bantulah saya, wahai keluarga nabi !” Seketika itu juga, seluruh makanan yang ada di atas meja diserahkan kepada orang miskin itu, sehingga keluarga Nabi SAW tidak berbuka puasa kecuali hanya minum air saja.
Peristiwa tersebut terjadi tiga hari berturut-turut. Selama tiga hari itu, keluarga Nabi SAW tidak makan apa-apa karena makanan mereka semua diberikan kepada orang-orang miskin. Mereka memberikan makanan yang mereka perlukan kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim, dan tawanan. Keluarga Nabi SAW berkata, “Kami memberi makan kepada kalian dengan tidak mengharapkan balasan dan terima kasih, kami memberikan makanan semata-mata karena Allah SWT.”
Ada satu riwayat, ketika nabi SAW keluar dari masjid, seorang perempuan tua mengajaknya mengobrol lama sekali. Meskipun demikian, beliau mendengarkannya baik-baik sehingga para sahabat merasa kasihan karena Nabi SAW tidak dapat beranjak dari tempat duduknya karena mendengarkan perempuan tua itu. Para sahabat ketika hendak menemui Nabi SAW, harus mencari di tengah-tengah orang miskin dan rakyat kecil. “Jangan cari Rasulullah SAW di tempat-tempat orang kaya, tidak akan ketemu di situ, _“Kudzuni fi dhu’afaikum,”_‘Carilah aku di tengah-tengah orang kecil (miskin) di antara kamu’. Demikian kata Rasul
Sekarang pun kalau kita mau mencari Rasulullah SAW, carilah di tengah-tengah orang miskin, karena tidak ada tempat yang paling dicintai Rasulullah SAW, selain tempat-tempat orang miskin, rakyat kecil, sampai beliau berdoa di tengah-tengah orang banyak, yang sampai sekarang tidak saya amalkan, _“Allahuma ‘ahyini miskinan…,”_‘Ya Allah hidupkanlah aku di tengah-tengah orang miskin, wafatkanlah aku di tengah-tengah orang miskin, dan bangkitkanlah aku di hari kiamat bersama orang-orang miskin juga,” ungkapnya.
Ketika Aisyah, isteri Nabi SAW, meminta wasiat kepadanya, “Ya Rasulullah, aku ingin dekat dengan Allah, bagaimana caranya? Nabi SAW bersabda, “dekatilah orang-orang miskin, nanti kamu akan dekat dengan Allah, dekatilah orang-orang kecil.” Jadi Nabi Muhammad SAW sangat senang berada di tengah-tengah orang miskin. Dan Rasulullah SAW berkata lagi kepada Aisyah, “kepadaku diperlihatkan semua penghuni surga, ternyata yang aku saksikan kebanyakan penghuni surga itu adalah orang-orang miskin, dan kebanyakan penghuni neraka itu orang-orang kaya.”
Ketika orang-orang miskin bertanya, “Orang kaya itu enak, bisa bersedekah dan kami ini apa yang mau kami sedekahkan.” Rasulullah SAW menjawab, “bacalah oleh kalian _‘Subhanallah walhamdulillah walaa ilaahaillallah wallahu akbar’,_ itu sama nilainya dengan sedekah orang kaya.” Orang miskin itu bertanya lagi, “tetapi ya Rasulullah, orang kaya itu bisa baca zikir seperti itu.” Lalu Rasulullah bersabda, “ada di antara dosa-dosa yang tidak bisa ditebus oleh apapun kecuali dengan sulitnya mencari nafkah yang halal. Ada dosa yang tidak bisa ditebus dengan ratusan pergi haji, dan ada dosa yang tidak bisa ditebus dengan baca zikir itu, dan ada dosa yang tidak bisa ditebus dengan setinggi gunung emas sekali pun. Dan dosa itu hanya bisa ditebus dengan kesengsaraan dalam mencari nafkah yang halal, sulitnya mencari uang, itulah yang menjadi penghapus terhadap dosa-dosa.” Rasulullah SAW melanjutkan, “orang miskin lebih cepat masuk surganya ketimbang orang-orang kaya." Hal ini tidak berarti seseorang hanya mempertahankan kemiskinan, tetapi bagaimana caranya walaupun dalam keterbatasan tapi tetap berjiwa kaya.
Nabi SAW sangat mencintai dan sangat senang berada di tengah-tengah orang miskin dan beliau mau mendatangi dan berkumpul dengan orang-orang yang menderita atau kesusahan. “Ketika membantu orang miskin, jangan berpikir bahwa kita membantu mereka, tidak demikian. Karena pada hakikatnya, kitalah yang beruntung karena telah terbantu oleh mereka dijauhkan dari azab Allah. _Subhanallah_
MATA YANG TIDAK MENANGIS
Semua kaum Muslim berkeyakinan bahwa dunia dan kehidupan ini akan berakhir. Akan datang suatu saat ketika manusia berkumpul di pengadilan Allah Swt. Al-Quran menceritakan berkali-kali tentang peristiwa Hari Kiamat ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 1-16. Dalam surah itu, digambarkan bahwa tidak semua wajah ketakutan. Ada wajah-wajah yang pada hari itu cerah ceria. Mereka merasa bahagia dikarenakan perilakunya di dunia. Dia ditempatkan pada surga yang tinggi. Itulah kelompok orang yang di Hari Kiamat memperoleh kebahagiaan.
Tentang wajah-wajah yang tampak ceria dan gembira di Hari Kiamat, Rasulullah pernah bersabda, “Semua mata akan menangis pada hari kiamat kecuali tiga hal.
Pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt. Kedua, mata yang dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan Allah. Ketiga, mata yang tidak tidur karena mempertahankan agama Allah.”
Mari kita melihat diri kita, apakah mata kita termasuk mata yang menangis di Hari Kiamat?
Pertama mata yang menangis karena takut pada Allah.
Dahulu, dalam suatu riwayat, ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di tempat-tempat maksiat, dan pulang larut malam. Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi:
“Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16).
Baca juga tips
Puasa yang menyenangkan
Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah Swt., sehingga di abad kesebelas Hijri dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf.
Orang ini bernama Fudhail bin Iyadh. Dia kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah Swt. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.
Kedua, mata yang dipalingkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Seperti telah kita ketahui bahwa Rasulullah pernah bercerita tentang orang-orang yang akan dilindungi di Hari Kiamat ketika orang-orang lain tidak mendapatkan perlindungan. Dari ketujah orang itu salah satu di antaranya adalah seseorang yang diajak melakukan maksiat oleh perempuan, tetapi dia menolak ajakan itu dengan mengatakan, “Aku takut kepada Allah”.
Nabi Yusuf as. mewakili kisah ini. Ketika dia menolak ajakan kemaksiatan majikannya. Mata beliau termasuk mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, lantaran matanya dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Swt.
Ketiga adalah mata yang tidak tidur karena membela agama Allah.
Seperti mata pejuang Islam yang selalu mempertahahkan keutuhan agamanya, dan menegakkan tonggak Islam. Itulah tiga pasang mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, yang dilukiskan oleh Al-Quran sebagai wajah-wajah yang berbahagia di Hari Kiamat nanti. Semoga...
Langganan:
Postingan (Atom)
Sedekah
Sedekah fatehah
*Perlukah sedekah Al Fatihah kpd orang yg sdh meninggal..??* Sering menjadi bahan perdebatan, perlunya sedekah Al-Fatihah kpd Ibu,Bapak,...
Popular
-
Hakikat dalam sholatbitu ada 4 (empat) perkara 1. Berdiri (ihram) 2. Ruku' (munajah) 3. Sujud (mi'raj) 4. Duduk (tubadil) Bai...
-
Ini adalah menjelaskan mengenani asal ususl sholat 5 waktu yang sering kita lakukan dalam peribadatan agama islam yang selama mungkin belum...
-
*Perlukah sedekah Al Fatihah kpd orang yg sdh meninggal..??* Sering menjadi bahan perdebatan, perlunya sedekah Al-Fatihah kpd Ibu,Bapak,...
-
Bahwasannya SHALAT yang kita lakukan tidaklah semata mata untuk menggugurkan kewajiban saja, tetapi untuk meng-esa-kan-NYA. _ SHALAT dan ...
-
📌 NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK DIRI SENDIRI ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺍَﻥْ ﺍُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻰْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ~NAWAITU AN UKHRI...
-
“…. Youtube, youtube, youtube lebih dari TV….”, Ya, potongan lirik pada bagian verse Jovial da Lopez di lagu Ganteng Ganteng Swag bis...
-
Hati- hati dalam membaca tulisan ini jika yangvmasih syariat bisa gila. Ini adalah tentang mengkaji diri yabg berdasarkan langsung pada Al...
-
Pagi hari saya melalukan aktifitas seperti biass ngopi di warung kopi deket rumah, sesampainya di sana seperti biasanya foto dan sharr lokas...
-
Nestapa Lombok blm Berakhir laut mulai Retak2 Sudah.. Buat yg lg d pulau Jawa atau ada keluarga d pulau Jawa.. PERBANYAK DO'A...T...
-
------------------------------------------------ KH. Ahmad Dahlan dan Kh. Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab...