Menurut Syekh Hasan bin ‘Ammar, salah satu ulama mazhab Hanafi, dalam kitab Maraqil Falah, (Cetakan 1, Terbitan Al-Maktabah Al-‘Ashriyah, 2005 M, halaman 149), dhuha itu sendiri adalah nama waktu yang diawali dengan naiknya matahari hingga sebelum tergelincir. Pandangan ini diperjelas oleh Syekh Muhammad bin Abdullah Al-Kharasyi Al-Maliki:
لِأَنَّ مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ إلَى الزَّوَالِ لَهُ ثَلَاثَةُ أَسْمَاءٍ فَأَوَّلُهَا: ضَحْوَةٌ وَذَلِكَ عِنْدَ الشُّرُوقِ. وَثَانِيهَا: ضُحًى مَقْصُورٌ وَذَلِكَ إذَا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ. وَثَالِثُهَا: ضَحَاءٌ بِالْمَدِّ وَذَلِكَ إلَى الزَّوَالِ. وَالْمُرَادُ بِالْوَقْتِ الَّذِي يُنْسَبُ إلَيْهِ الصَّلَاةُ ارْتِفَاعُ الشَّمْسِ وَهُوَ مَقْصُورٌ
Artinya, “Sungguh, waktu antara terbit matahari hingga tergelincir terbagi tiga. Pertama, waktu dhahwah. Waktu itu terjadi pada saat terbit. Kedua, waktu dhuha yang dibatasi dengan naiknya matahari. Ketiga, waktu dhaha. Waktu itu (dimulai dari habis waktu dhuha) hingga tergelincir matahari. Dengan demikian, yang dimaksud waktu yang dinisbahkan pada shalat dhuha adalah waktu di mana naiknya matahari. Naiknya matahari itulah yang menjadi batasnya,” (Lihat Al-Kharasyi, Syarh Mukhtashar Khalil, Beirut, Darul Fikr, jilid II, halaman 4).
Dari petikan di atas, diketahui bahwa waktu antara terbit matahari hingga tergelincir terbagi menjadi tiga waktu. Pertama adalah waktu dhohwah, yaitu dimulai dari terbitnya matahari hingga naik setinggi satu tumbak. Kedua adalah waktu dhuha, dimulai dari matahari setinggi satu tumbak hingga waktu istiwa (matahari tepat di atas langit). Dan, ketiga adalah waktu dhaha, yaitu dimulai dari waktu istiwa hingga waktu tergelincir.
Singkatnya, waktu dhuha bukanlah waktu terbitnya matahari, melainkan setelah melewati ketinggian satu tumbak. Sebab, waktu terbitnya matahari disebut dengan waktu dhahwah. Setelah matahari melewati ketinggian satu tumbak, barulah memasuki waktu shalat dhuha yang membentang hingga waktu istiwa.
Dengan kata lain, waktu dhuha adalah waktu yang sudah keluar dari waktu diharamkan—yakni waktu matahari terbit hingga naik satu tumbak—sampai waktu haram berikutnya—yaitu waktu matahari tepat di atas langit (istiwa). Waktu itulah yang diperbolehkan menunaikan shalat dhuha.
Selanjutnya, berapakah ukuran satu tumbak yang dimaksud dalam hadits Rasulullah SAW? Para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran ini, mulai dari ukuran tak standar hingga yang standar.
1. Menurut Syekh Abu Sulaiman dalam Ma‘alimus Sunan, satu tumbak di sana hanyalah menurut pandangan mata telanjang.
2. Dalam Hasyiyatul Bujairimi, Syekh Sulaiman bin Muhammad bin ‘Umar menyebutkan, satu tumbak di sana kira-kira tujuh dzira (hasta) dalam pandangan mata telanjang.
3. Dalam Hasyiyatud Dasuqi ‘ala Syarhil Kabir, Syekh Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah Ad-Dasuqi menyebut bahwa satu tumbak di sana kira-kira 12 jengkal ukuran sedang.
4. Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyebut dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, satu tumbak dimaksud kira-kira sepanjang 2,5 meter.
وطول الرمح:50،2م أو سبعة أذرع في رأي العين تقريباً، وقال المالكية: اثنا عشر شبراً
Artinya, “Satu tumbak itu sepanjang 2,5 meter, atau kira-kira tujuh hasta dalam penglihatan kasat mata. Sedangkan menurut para ulama Maliki, satu tumbak adalah 12 jengkal,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Beirut, Darul Fikr, cetakan keempat, jilid I, halaman 676).
5. Dalam kitab Al-Fiqhul Muyassar fi Dhauil Kitab was Sunah dan juga kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhukarya Az-Zuhaily disebutkan, jika dikonversi ke waktu, satu tumbak di sana kira-kira selama 1/4 sampai 1/3 jam atau 15-20 menit (sejak matahari terbit). Hanya saja, dalam Kitab Al-Fiqhul Muyassar, satu tumbak ditaksir satu meter dalam pengamatan mata.
الثاني: من طلوع الشمس حتى ترتفع قدر رمح في رأي العين، وهو قدر متر تقريباً، ويقدر بالوقت بحوالي ربع الساعة أو ثلثها. فإذا ارتفعت الشمس بعد طلوعها قدر رمح فقد انتهى وقت النهي، ورد في حديث ابن عبسة حتى يعدل الرمح ظله
Artinya, “Waktu terlarang yang kedua adalah dari terbit matahari hinggi naik setinggi satu tumbak dalam pandangan kasat mata, yaitu kira-kira satu meter. Jika dikonversi kepada waktu, kira-kira selama seperempat atau sepertiga jam. Setelah matahari naik satu tumbak, maka berakhirlah waktu terlarang. Namun, dalam hadits riwayat ‘Abasah disebutkan, hingga bayangan tumbak sama dengan panjang tumbaknya,” (Lihat Al-Fiqhul Muyassar fi Dhauil Kitab was Sunah, Majma‘ul Malik Fahd, jilid I, halaman 66).
6. Ada pula yang mengatakan bahwa satu tumbak kira-kira matahari setinggi 4 derajat. Jika satu derajat adalah empat menit, maka lamanya adalah 16 menit sejak ia terbit.
Lebih mudah lagi, sekarang ini waktu dhuha dapat dikethaui dengan mengacu pada jadwal imsakiah yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga kredibel, yaitu Kemenag RI, MUI, Lembaga Falakiyah NU, dan lembaga lain. Sebab, jadwal tersebut biasanya sudah mencantumkan waktu syuruq atau waktu terbit matahari. Caranya, waktu syuruq tersebut ditambah 15-20 menit, maka itulah waktu shalat dhuha. Termasuk waktu shalat lain yang bersamaan dengan waktu shalat dhuha adalah shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha.
Contoh, jika waktu syuruq (terbit) adalah pukul 05:53, maka setelah ditambah 20 menit waktu dhuhanya adalah pukul 06:13. Bisa juga menggunakan cara lain, yaitu melihat bayangan suatu benda. Jika panjang bayangan sudah sama dengan tinggi bendanya, maka masuklah waktu dhuha, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ‘Abasah. Hanya saja, cara terakhir ini sangat bergantung pada cuaca dan kondisi matahari. Wallahu ‘alam. (M Tatam Wijaya) @copyright nu online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar